0
MIASTHENIA GRAVIS
Posted by Unknown
on
16.04
in
Kuliah
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sindrom
klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an
miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar.
Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada
perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram
menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris
melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare.
Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati
miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata.
Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 1995).
Tingkat
kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh
insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara
drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi
spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan
melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok
untuk menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun
pertama setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah Asuhan Keperawtan pada
pasien Miesthania Gravis?
1.3
Tujuan Penulisan
1.3.1
Tujuan Umum
1. Mengetahui Asuhan Keperawatan padas pasien
Miesthania Gravis.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Mengetahui
definisi Miesthania Gravis
2. Mengetahui
klasifikasi Miesthania Gravis
3. Mengetahui
etiologi Miesthania Gravis
4. Mengetahui
patofisiologi Miesthania Gravis
5. Mengetahui
manifestasi klinis Miesthania Gravis
1.4 Manfaat
1.4.1
Manfaat Teoritis
Mahasiswa menjadi mengerti tentang:
1. Definisi tentang Miesthenia Gravis
2. Klasifikasi tentang Miesthenia Gravis
3. Etiologi tentang Miesthenia Gravis
4. Patofisiologi Miesthenia Gravis
5. Manifestasi klinis dari Miesthenia
Gravis
1.4.2
Manfaat Praktis
Mahasiswa dapat mengerti dan memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien dengan Miesthenia Gravis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu
kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif
pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan
kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptictransmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan
tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang
kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul
berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter
dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Dewabenny,2008).
Miastenia gravis merupakan sindroma
klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan
dan destruksireseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini,
miasteniagravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi
reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi
ini merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan. (Chandrasoma
dan Taylor, 2005).
2.2
Klasifikasi
Menurut
Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelas I
|
Adanya kelemahan
otot-otot ocullar, kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan otot-otot
lain normal
|
Kelas II
|
Terdapat kelemahan
otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot
lain selain otot okular.
|
Kelas IIa
|
Mempengaruhi
otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan
otot-otot orofaringeal yang ringan
|
Kelas IIb
|
Mempengaruhi
otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas
IIa.
|
Kelas III
|
Terdapat kelemahan
yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot
ocular mengalami kelemahan tingkat sedang
|
Kelas III a
|
Mempengaruhi
otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan.
Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan
|
Kelas III b
|
Mempengaruhi otot
orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat
kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam
derajat ringan.
|
Kelas IV
|
Otot-otot lain selain
otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan
otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
|
Kelas IV a
|
Secara predominan
mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot
orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
|
Kelas IV b
|
Mempengaruhi otot
orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain
itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,
atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa
dilakukan intubasi.
|
Kelas V
|
Penderita
ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
|
Klasifikasi
menurut osserman ada 4 tipe :
1. Ocular miastenia
terkenanya otot-otot mata saja, dengan
ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian
2. Generalized
myiasthenia
a)
Mild generalized myiasthenia
Permulaan
lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan
bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
b)
Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet
dan bulbar dan respon terhadap obat tidak memuaskan.
3. Severe generalized
myasthenia
A.
Acute fulmating myasthenia
Permulaan
cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi penyakit biasanya
komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas
penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma
B.
Late severe myasthenia
Timbul
paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia
gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi.
Respon terhadap obat dan prognosis jelek
4. Myasthenia crisis
Menjadi
cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat disebabkan : pekerjaan
fisik yang berlebihan, emosi, infeksi, melahirkan anak
2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia
gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu
penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron
terdapat partikel-partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin
(ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah
dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan
ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion
pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga
dengan demikian terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada
Miasteniagravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat
kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor
imunologiklah yang berperanan (Qittun, 2008).
2.3 Epidemologi
Miastenia gravis merupakan penyakit
yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai
usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak padausia 20-50 tahun. Wanita
lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan
wanita dan pria yang menderita miastenia gravisadalah 3 : 1. Pada wanita,
penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun,
sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi padausia 40 tahun. Pada bayi,
sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia gravis akan
memiliki miastenia tidak menetap/transient (kadang permanen) (Dewabenny, 2008).
2.4 Patogenesis
Sebelum tahun 1973, kelainan
transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis dianggap
karena kekurangan ACh. Dengan ditemukan antibodi terhadap AChR (anti-AChR),
baru diketahui, gangguan tersebut adalah suatu proses imunologik yang
menyebabkan jumlah AChR pada membran postsinaptik berkurang. Anti-AChR
ditemukan pada 80 - 90% penderita. Adanya proses imunologik pada Miastenia
gravis sudah diduga oleh Simpson dan Nastuk pada tahun 1960. Selain itu, dalam
serum penderita Miastenia gravis juga dijumpai antibodi terhadap jaringan
ototserat lintang 30 - 40% dan antibodi antinuklear 25%. Kadar anti-AChR pada
Miastenia gravis bervariasi antara 2-1000nMol/L, dan kadar ini berbeda secara
individu. Anti-AChR ini akan mempercepat penghancuran AChR, tetapi tidak
menghambat pembentukanAChR baru. Sebagai akibat proses imunologik, membran
postsinaptik mengalami perubahan sehingga jarak antara ujung saraf dan membran
post sinaptik
bertambah lebar dengan demikian kolinesterase mendapat kesempatan lebih banyak
untuk menghancurkan Ach . Gejala klinik Miastenia gravis akan timbul bila 75%
AChR tidak berfungsi, atau jumlahnya berkurang 1/3 dari normal (Endang Thamrin dan P. Nara,
1986).
2.5
Maninfestasi klinis
Miastenia gravis diduga merupakan
gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi
efisiensi hubungan neuromuscular. Keadaan ini sering bermanisfestasi sebagai
penyakit yang berkembang progresif lambat. Pada 90 % penderita, gejala awal
berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebrae
kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka
perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian. Miastenia
gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan ini dapat
menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan
suara yang abnormal atau suara nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang
dinamakan sebagai tanda rahang menggantung. Pada sistem pernapasan,
terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan
akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak lagi mampu membersihkan
lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus yang lebih lanjut, gelang
bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada semua otot-otot
rangka. Biasanya gejala Miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan
dengan memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat
menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab (SilviaA. Price, Lorain M.
Wilson. 1995.);
1.
Perubahan
keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid
atau gangguan fungsi tiroid,
2.
Adanya penyakit
penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagianatas, dan infeksi yang
disertai diare dan demam,
3.
Gangguan emosi
atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada
dalam keadaan tegang,
4.
Alkohol,
terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin (suatu obat yang
mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan obat-obat lainnya.
Pada pemeriksaan neurologik tidak
ditemukan kelainan. Gejala kelemahan otot dapat diprovokasi oleh aktivitas,
stres, nervositas, demam dan obat-obat tertentu seperti B-blocker, derivat
kinine, aminoglikosida dan lain-lain. Dulu diduga Miastenia gravis tidak timbul
sebelum pubertas, akan tetapi dengan uji prostigmin dapat dibuktikan pada anak
umur 18 bulan – 10 tahun. Millichap dan Dodge membagi Miastenia gravis pada
anak dalam 3 tipe (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986) :
1.
Neonatal transient
Miastenia gravis
Tipe
ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu yang menderita Miastenia gravis. Beratnya gejala
tidak berkaitan dengan beratnya penyakit pada ibu . Segera atau beberapa jam setelah lahir, bayi menjadi lemah, nabgis dan
gerakan berkurang, tidak dapat mengisap, sukar menelan, pernapasan melemah.
Gejalaini berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi berangsur-angsur kembali
normal karena masuknya anti-AChR dari ibu secara transplasenter ke dalam tubuh
bayi.
2.
Neonatal
persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis)
Gejala
timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis. Gejala
hampir sama dengan tipe neonatal transient Miastenia gravis, bersifat
ringan, berlangsung lama,makin lama makin buruk . Relatif resisten terhadap
pengobatan dan remisi komplit jarang.
3.
Juvenile Miastenia
gravis
Tipe
ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala sama seperti
pada orang dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis atau gejala
THT seperti gangguan mengunyah, menelan atau suara sengau.
2.6 Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu
kasus kegawat daruratan yang terjadi bila otot yang mengendalikan pernapasan
menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal pernapasan akut dan pasien
seringkali membutuhkan respirator untuk membantu pernapasan selama krisis berlangsung.
Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak, aspirasimakanan, dan
pneumonia. Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien termasuk riwayat
penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pascaoperasi,
pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas berlebih
(terutama pada cuaca yang panas), kehamilan, dan stressemosional.
1.
Pencegahan Primer
Pencegahan
primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan pada saat individu
belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan cara promosi
kesehatan atau penyuluhan degan cara memberikan pengetahuan bagaimana
penanggulangan dari penyakit Miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan;
a.
Memberi
pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum-minuman beralkohol, khususnya
apabila minuman keras tersebut dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin.
Kuinin ini merupakan suatu obat yang memudahkan terjadinya kelemahan otot.
b.
Menjaga kondisi
untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak
stres. Karena kebanyakan pasien-pasien Miastenia gravis ini terjadi pada saat
mereka dalam kondisi yang lelah dan tegang.
2.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan
ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan menunjukkan adanya tanda
dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengobatan
antara lain dengan mempengaruhi proses imunologik pada tubuh individu, yang
bisa dilaksanakan dengan; Timektomi, Kortikosteroid, Imunosupresif yangbiasanya
menggunakan Azathioprine.
3.
Pencegahan Tersier
Pencegahan
tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan agar penyakit
yang di derita tidak menjadi hambatan bagi individu serta tidak terjadi
komplikasi pada individu. Yang dapat dilakukan dengan;
a.
Mencegah untuk
tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat
memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh individu.
b.
Istirahat yang
cukup
c.
Pada Miastenia
gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang dilengkapi
dengan pengait kelopak mata.
d.
Mengontrol
pasien Miastenia gravis untuk tidak minum obat-obatan tikolinesterase secara
berlebihan.
2.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis
harus belajar dalam batasan yang ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita
ini. Mereka memerlukan tidur selama 10 jam agar dapat bangun dalam keadaan
segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga
harus menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada
waktunya (SilviaA. Price, Lorain M. Wilson. 1995).
Walaupun belum ada penelitian
tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia gravis merupakan
kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase
(asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan
penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya
digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengn
miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi
imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan
imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian
antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan
menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti
memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki
efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis
berdasarkan 3 prinsip, yaitu
1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a.
Istirahat
Dengan
istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan
AChR di bawah
ambang rangsang dapat berkontraksi.
b.
Memblokir
pemecahan Ach
Dengan
anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau ambenonium diberikan sesuai
toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal.
Pada bayi
dapat dimulai dengan dosis 10 mg
piridostigmin per os dan pada anak besar 30 mg,
kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a.
Timektomi
Tujuan
neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan
dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus
dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien.
Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang
telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun ± 25% penderita
akan mengalami remisi klinik dan40-50% mengalami perbaikan.
b.
Kortikosteroid
Diberikan
prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping. Dimulai
dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis yang diinginkan.
Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik
atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler.
c.
Imunosupresif
Yaitu
dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM). Namun
biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis
2½ mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi
dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan.
Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan
terutama pada kasus-kasus berat.
d.
Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar
anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai 50% akan terjadi perbaikan
klinik.
3. Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya
agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a.
Penjelasan
mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b.
Alat bantuan non
medika
mentosa Pada Miastenia gravis
dengan ptosis diberikan kaca mata khususyang dilengkapi dengan pengkait kelopak
mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan
penegak leher. Juga dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna,
makanan yang merangsang, menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu
transmisi neuromuskuler seperti B-blocker, derivat kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika
seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.
2.8 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat
bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada orang dewasa. Dalam perjalanan
penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otot-otot tubuh
bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20%
mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan
mengalami atrofi otot. Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5
tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan ± 20% antaranya
mengalami remisi. Remisi spontan pada awal penyakit terjadi pada 10%
Miasteniagravis (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).
2.9 Patofisiologi Gambaran Penyakit
Secara Menyeluruh
Saraf besar bermielin yang berasal
dari sel kornu anterior medulla spinalis dan batang
otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya
dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial menuju ke perifer. Masing-masing
saraf bercabang banyak sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot
rangka. Gabungan antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang
dipersarafi dinamakan unit mototrik. Meskipun setiap neuron mototrik
mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersarafi oleh
hanya satu neuron motorik. Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara
saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular atau hubungan neuromuscular.
Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang
terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah
sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200Ã….Unsur presinaps terdiri dari akson
terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan
neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal
(bouton). Membran plasma akson terminal disebut
membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membran postsinaps atau
lempeng akhir motorik serabut otot. Membran postsinapsdibentuk oleh invaginasi
selaput otot atau sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson
terminal menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini
mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat menambah luas
permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan mampu menghasilkan potensial lempeng
akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan potensial aksi otot. Pada membran postsinaps
juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu
asetilkolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara membran
presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zatgelatin, dan melalui
gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan
neuromukular, maka membranakson terminal presinaps mengalami depolarisasi
sehingga asetilkolin akandilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi
melalui celah sinapsdan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran
postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap
natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium dan pengeluaran
ion kalium secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng akhir dikenal
sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan
terbentuk potensial aksi dalam membrane otot yang tidakberhubungan dengan
saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial ini
memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan
neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah
asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial
aksi. Pada Miastenia gravis, konduksi neuromuskular
terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan
cedera autoimun.
Pada klien dengan Miastenia gravis,
secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atrofi, maka itu
disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis beberapa kasus dapat
ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan
organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang
konsisten.
2.10
Pathway Miasthenia Gravis
BAB 3
Asuhan Keperawatan
Dengan Miesthania Gravis
3.1
Pengkajian
a)
Anamnesis
Identitas klien :
Nama :
Tn. X
Alamat :
Jl. Sudirman no. 42 Cimahi, Bandung
Jenis kelamin :
Laki-laki
Umur :
60 Th
Status : Menikah
Agama : Islam
Keluhan utama :
Kelemahan otot
Riwayat kesehatan :
Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan pesentasi klinis. Riwayat
kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan pasial setelah
istirahat sangatlah menunukkan miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh
kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya
jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti
tentang kelemahan otot.
Pemeriksaan
Fisik
1.
- Keadaan umum : 1. Keadaan Umum
-
Tingkat kesadaran :
-
GCS
:
-
TTV
:
TD
: ………… mmHg
N
: ………… x/menit
S
: ………… oC
RR
: ………… x/menit
2. Pengkajian persistem
a. Sistem
integumen
Kaji warna
kulit, turgor kulit, kelembaban kulit, akral, kebersihan rambut dan kuku.
b. Sistem
penginderaan
Kaji bentuk
mata, hidung, telinga, mukosa bibir, ada atau tidaknya lesi.
c.
Sistem pernafasan
Kaji bentuk
dada, irama dan frekuensi nafas.
d. Sistem cardiovaskuler
Kaji irama
dan frekuensi denyut nadi
e.
Sistem pencernaan
Biasanya klien mengalami kesulitan mengunyah dan
menelan
f.
Sistem perkemihan
Biasanya mengalami inkontinensia urine
g.
Sistem muskuluskeletal
Biasanya klien mengalami kelemahan otot pada bagian
tertentu.
h.
System persarafan
Saraf I : Biasanya pada
klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan
Saraf II : Penurunan
pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya penglihatan ganda
Saraf III,
IV dan VI
: Sering didaptkan adanya ptosis. Adanya oftalmoglegia
(dapat dilihat pada gambar 8-5), mimik dari pseudointernuklear oftalmoglegia
akibat gangguan motorik pada saraf VI
Saraf V : Didapatkan
adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah.
SarafVII : Persepsi
pengecapan teganggu akibat adanya gangguan motorik lidah/triple-furrowed lidah
Saraf VIII : Tidak
ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan
X : Ketidakmampuan
dalam menelan
Saraf XI : Tidak ada
atrofi otot sternoklidomastoideus dan trapezius
Saraf XII : Lidah tidak
simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot motorik pada
lidah/triple-furrowed lidah
CT Scan
3. 2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan
meliputi hal berikut :
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
kelemahan ototpernapasan.
2. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan
kelemahanfisik umum, keletihan.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
disfonia,gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangankontrol
tonus otot fasial atau oral.
4. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis,
ketidakmampuan komunikasi verbal.
3.3 Analisa Data
1.
|
Do:
·
Perubahan
gerakan dada
·
Penurunan
tekana ekspirasi/inspirasi
·
Napas dalam
·
Pernapasan
cuping hidung.
Ds
:
·
Dispnea
·
Napas pendek
|
Otot
pernapasan
Kelemahan otot-otot pernapasan
Ketidak mampuan batuk efektif
|
Ketidakefektifan pola napas
|
||||||
2.
|
Do :
·
Penurunan
waktu reaksi
·
Kesulitan
bergerak
·
Melambatnya
pergerakan
·
Pergerakan tak
terkoordinasi
·
Keterbatasan
rentang gerak
Ds: -
|
Kelemahan otot-otot
(Miasthenia
Gravis)
Otot volunter
Kelemahan otot-otot rangka
|
Hambatan
mobilitas fisik
|
||||||
3.
|
Do :
·
Kesulitan mengolah
kata-kata atau kalimat
·
Tidak atau
tidak dapat berbicara
·
Dispnea
·
Verbalisasi
tidak sesuai
·
Bicara pelo
·
Bicara gagap
·
Keinginan
menolak untuk bicara
Ds: -
|
Kelemahan otot-otot
(Miasthenia
Gravis)
Otot wajah, laring, faring
Regurgitasi makanan ke hidung pada saat menelan
Suara abnormal ketidak mampuan menutup rahang
|
Kerusakan
komunikasi verbal
|
||||||
4.
|
Do :
·
Depersonalisasi
bagian tubuh
·
Takut atau
penolakan reaksi dari orang lain
·
Preokupasi
perubahan atau kehilangan
·
Menolak untuk
memverivikasi perubahan actual
Ds:
·
Perubahan
actual pada struktur atau fungsi tubuh
·
Perubahan pada
keterlibatan social
·
Kehilangan
bagian tubuh
·
Tidak melihat
bagian tubuh
·
Tidak
menyentuh bagian tubuh
|
Kelemahan otot-otot
(Miasthenia Gravis)
Otot-otot ocular
Gangguan otot levator palpebra
Ptosis & Diplopia
|
Gangguan citra
tubuh
|
3.4
Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa
Keperawatan: Ketidakefektifan pola nafas b.d kelemahan otot pernapasan.
Tujuan :
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi polapernapasan klien
kembali efektif
Kriteria Hasil : Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan
dalambatas normal, bunyi nafas terdengar jelas, respiratorterpasang dengan
optimal
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji
kemampuan ventilasi
|
Untuk klien dengan penurunan kapasitasventilasi,
perawat mengkaji frekuensipernapasan, kedalaman, dna bunyi nafas,pantau hasil
tes fungsi paru-paru (volume tidal, kapasitas vital, kekuatan
inspirasi),dengan interval yang sering dalammendeteksi masalah pau-paru,
sebelumperubahan kadar gas darah arteri dansebelum tampak gejala klinik.
|
Kaji kualitas, frekuensi,dan
kedalamanpernapasan, laporkansetiap perubahan yangterjadi.
|
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi,
dankedalaman pernapasan, kita dapatmengetahui sejauh mana perubahan
kondisiklien.
|
Baringkan
klien dalamposisi yang nyamandalam posisi duduk
|
Penurunan
diafragma memperluas daerahdada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
|
Observasi
tanda-tandavital (nadi,RR).
|
Peningkatan
RR dan takikardi merupakanindikasi adanya penurunan fungsi paru
|
2. Dx Keperawatan : Gangguan
aktivitas sehari-hari berhubungandengan kelemahan fisik umum, keletihan.
Tujuan :Infeksi bronkhopulmonal
dapat dikendalikan untukmenghilangkan edema inflamasi dan
memungkinkanpenyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi pernapasan minoryang
tidak memberikan dampak pada individu yang memilikiparu-paru normal, dapat
berbahaya bagi klien dengan PPOM.
Kriteria Hasil :Frekuensi nafas 16-20 x/menit,
frekuensi nadi 70-90x/menit, dan kemampuan batuk efektif dapat optimal,tidak ada
tanda peningkatan suhu tubuh.
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji
kemampuan kliendalam melakukanaktivitas
|
Menjadi
data dasar dalam melakukanintervensi selanjutnya.
|
Atur
cara beraktivitasklien sesuai kemampuan
|
Sasaran
klien adalah memperbaiki kekuatandan daya tahan. Menjadi partisipan
dalampengobatan, klien harus belajar tentangfakta-faakta dasar mengenai
agen-agenantikolinesterase-kerja, waktu, penyesuaiandosis, gejala-gejala
kelebihan dosis, danefek toksik. Dan yang penting padapengguaan medikasi
dengan tepat waktuadalah ketegasan.
|
Evaluasi
kemampuanaktivitas motorik
|
Menilai
singkat keberhasilan dari terapiyang boleh diberikan
|
3. Diagnosa Keperawatan:Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
disfonia, gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus
otot fasial atau oral.
Tujuan :Klien dapat
menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan
perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.
Kriteria
Hasil :Terciptanya suatu
komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi, klien mampu merespons setiap
berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji
komunikasi verbal klien.
|
Kelemahan
otot-otot bicara klien krisis miastenia gravis dapat berakibat pada komunikasi.
|
Lakukan
metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klien.
|
Teknik
untuk meningkatkan komunikasi meliputi mendengarkan klien, mengulangi apa yang mereka coba komunikasi kandengan
jelas dan membuktikan yang diinformasikan, berbicara dengan klien terhadap
kedipan mata mereka dan atau goyangkan jari-jari tangan atau kaki untuk menjawab
ya/tidak. Setelah periode krisis klien selalu mampu mengenal kebutuhan mereka.
|
Beri
peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami
gangguan berbicara, sediakan belkhusus bila perlu
|
Untuk kenyamanan yang berhubungan dengan
ketidak mampuan komunikasi.
|
Antisipasi
dan bantu kebutuhan klien.
|
Membantu
menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau ketidak mampuan berkomunikasi.
|
Ucapkan
langsung kepada klien dengan berbicara
pelan dan tenang, gunakan pertanyaan
dengan jawaban ”ya” atau”tidak” dan perhatikan respon klien
|
Mengurangi
kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi. Memajukan stimulasi
komunikasi ingatan dan kata-kata.
|
Kolaborasi:
konsultasi keahli terapi bicara.
|
Mengkaji
kemampuan verbal individual, sensorik, dan motorik, serta fungsi
kognitif untuk mengidentifikasi defisit dan kebutuhan terapi
|
4. Diagnosa Keperawatan :Gangguan citra diri berhubungan dengan
ptosis,ketidak mampuan komunikasi verbal.
Tujuan : Citra diri klien
meningkat.
Kriteria
Hasil :Mampu menyatakan
atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang
sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan dir iterhadap situasi, mengakui dan
menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang akurat tanpa harga
diri yang negatif.
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji
perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan
dengan derajat ketidak mampuan.
|
Menentukan
bantuan individual dalam menyusun rencana
perawatan atau pemilihan intervensi.
|
Identifikasi
arti dari kehilangan ataudisfungsi
pada klien.
|
Beberapa
klien dapat menerima dan mengatur beberapa fungsi secara efektif dengan
sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai kesulitan membandingkan
mengenal dan mengatur kekurangan.
|
Bantu
dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki
kebiasaan.
|
Membantu
meningkatkan perasaan harga diri dan mengontrol lebih dari satu
areakehidupan.
|
Anjurkan
orang yang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal untuk
dirinya sebanyak-banyaknya.
|
Menghidupkan
kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehabilitasi.
|
Kolaborasi:
rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi.
|
Dapat
memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan.
|
3.4. Implementasi Keperawatan
Tahap ini merupakan pengelolaan, perwujudan, serta
bentuk tindakan nyata dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap intervensi.
3.5. Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi merupakan suatu penilaian terhadap
proses keperawatan yang telah dilakukan. Dengan kata lain, evaluasi merupakan
suatu bentuk perbandingan antara hasil-hasil yang diperoleh dengan kriteria
hasil yang telah dibuat sebelumnya pada tahap intervensi. Berikut adalah
evaluasi dari diagnosa proses keperawatan diatas:
1.
Keefektifan
fungsi pernapasan.
2.
Batuk secara
optimal bisa dilakukan
3.
Fungsi
komunikasi sudah adekuat ditunjukkan dengan penggunaan baik dengan bahasa
isyarat maupun verbal secara optimal.
3.6 Peranan Keperawatan
Dalam proses pencegahan ataupun
penyembuhan Miastenia gravissangat penting dilakukan oleh perawat. Adapun peran
perawat pada individu dengan Miastenia gravis antara lain:
1. Care giver (pemberi perawatan),
Dimana perawat memberikan perawatan secara langsung
pada klien Miastenia gravis dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dasar
klien seperti pada saat pasien menunjukkan gejala sesak nafas, maka perawat
harus meninggikan bagian kepala tempat tidur 30-40 derajat, karena dengan
posisi ini akan memudakan upaya untukbernafas
2. Pendidik
Perawat harus mengajarkan atau memberi pendidikan
baik padaklien ataupun pada keluarga mengenai penatalaksaan jangka panjang
dalam penanganan pemyakit Miastenia gravis ini. Sehingga diharapkan klien dan
keluarga dapat memahami dengan baik tentang proses penyakit kronis yang
memungkinkan dapat mengenali gejala yang bisa menimbulkan komplikasi yang lebih
lanjut.
3. Pengawas kesehatan
Perawat perlu mengawasi klien dengan cara melakukan kunjungan
rumah (home visit) secara periodik yang bertujuan untukmengetahui sebagaimana
jauh perkembangan setelah menjalani pengobatan dan perawatan.
4. Konsultan
Perawat sebagai narasumber baik pada klien maupun
keluargadalam mengatasi masalah yang timbul, seperti bila tidak mengetahui atau
lupa dalam memberikan obat-obatan baik kapan maupun jumlah dosis, maka perawat
perlu memberikan nasehat kepada mereka.Waktu yang tepat dalam pemberian obat
sesuai dosis yang akurat berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energy. Dengan
memberikan obat sebelum makan akan memberikan kekuatan otot untuk mengunyah
makanan.
5. Kolaborasi
Perawat harus mampu berkolaborasi atau bekerja sama
dengan tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan penanganan pada masalah klien.
Dengan adanya kerjasama ini, maka pemberian asuhan keperawatan bisa sesuai
dengan pengobatan yang seharusnya diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1995. Rencana
Asuhan & Dokumentasi Keperawatan: Diagnosa Keperawatan dan Masalah
Kolaboratif . Edisi 2. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran EGC, hal:
293-297
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi
Anatomi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871
Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/ 2008/
07/12/ miastenia-gravis. (3 September 2009)
Endang Thamrin dan P. Nara. 1986. Cermin Dunia Kedokteran. No. 41,
1986.Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, hal: 40-42
Mubarak, Husnul. 2008. Miastenia gravis. http://cetrione.blogspot.com/ 2008/06/miastenia-gravis.html.
(3 September 2009)
Silvia A. Price, Lorain M. Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- proses Penyakit. Edisi
4. Buku 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,hal: 998 – 1003
Qittun. 2008. Asuhan keperawatan dengan Miastenia Gravis.http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-miastenia.html.
(3 September 2009)
Posting Komentar