0

MIASTHENIA GRAVIS

Posted by Unknown on 16.04 in

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata.

Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 1995).
Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok untuk menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun pertama setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan.

1.2 Rumusan Masalah
1.   Bagaimanakah Asuhan Keperawtan pada pasien Miesthania Gravis?


1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1        Tujuan Umum
1. Mengetahui Asuhan Keperawatan padas pasien Miesthania Gravis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.   Mengetahui definisi Miesthania Gravis
2.   Mengetahui klasifikasi Miesthania Gravis
3.   Mengetahui etiologi Miesthania Gravis
4.   Mengetahui patofisiologi Miesthania Gravis
5.   Mengetahui manifestasi klinis Miesthania Gravis
1.4  Manfaat
1.4.1        Manfaat Teoritis
Mahasiswa menjadi mengerti tentang:
1. Definisi tentang Miesthenia Gravis
2. Klasifikasi tentang Miesthenia Gravis
3. Etiologi tentang Miesthenia Gravis
4. Patofisiologi Miesthenia Gravis
5. Manifestasi klinis dari Miesthenia Gravis
1.4.2        Manfaat Praktis
Mahasiswa dapat mengerti dan memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dengan Miesthenia Gravis.





BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptictransmission atau pada neuromuscular junction. Gangguan tersebut akan mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial (Dewabenny,2008).
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksireseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miasteniagravis merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan. (Chandrasoma dan Taylor, 2005).
2.2 Klasifikasi
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kelas I
Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal
Kelas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Kelas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Kelas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Kelas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang
Kelas III a
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan
Kelas III b
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.
Kelas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
Kelas IV a
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan
Kelas IV b
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V
Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Klasifikasi menurut osserman ada 4 tipe :
1. Ocular miastenia
     terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian
2. Generalized myiasthenia
a) Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik.
b) Moderate generalized myasthenia
        Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak memuaskan.
3. Severe generalized myasthenia
A. Acute fulmating myasthenia
Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma
B. Late severe myasthenia
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek
4. Myasthenia crisis
Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat disebabkan : pekerjaan fisik yang berlebihan, emosi, infeksi, melahirkan anak


2.2 Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel-partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan Ach dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miasteniagravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologiklah yang berperanan (Qittun, 2008).
2.3 Epidemologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak padausia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravisadalah 3 : 1. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 20 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi padausia 40 tahun. Pada bayi, sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia gravis akan memiliki miastenia tidak menetap/transient (kadang permanen) (Dewabenny, 2008).

2.4 Patogenesis
Sebelum tahun 1973, kelainan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis dianggap karena kekurangan ACh. Dengan ditemukan antibodi terhadap AChR (anti-AChR), baru diketahui, gangguan tersebut adalah suatu proses imunologik yang menyebabkan jumlah AChR pada membran postsinaptik berkurang. Anti-AChR ditemukan pada 80 - 90% penderita. Adanya proses imunologik pada Miastenia gravis sudah diduga oleh Simpson dan Nastuk pada tahun 1960. Selain itu, dalam serum penderita Miastenia gravis juga dijumpai antibodi terhadap jaringan ototserat lintang 30 - 40% dan antibodi antinuklear 25%. Kadar anti-AChR pada Miastenia gravis bervariasi antara 2-1000nMol/L, dan kadar ini berbeda secara individu. Anti-AChR ini akan mempercepat penghancuran AChR, tetapi tidak menghambat pembentukanAChR baru. Sebagai akibat proses imunologik, membran postsinaptik mengalami perubahan sehingga jarak antara ujung saraf dan membran post sinaptik bertambah lebar dengan demikian kolinesterase mendapat kesempatan lebih banyak untuk menghancurkan Ach . Gejala klinik Miastenia gravis akan timbul bila 75% AChR tidak berfungsi, atau jumlahnya berkurang 1/3 dari normal (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).

2.5 Maninfestasi klinis
Miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular. Keadaan ini sering bermanisfestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot, wajah, dan laring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal, dan pasien tak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung. Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak lagi mampu membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya. Pada kasus yang lebih lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang hingga terjadi kelemahan pada semua otot-otot rangka. Biasanya gejala Miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Namun gejala-gejala tersebut dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab (SilviaA. Price, Lorain M. Wilson. 1995.);
1.      Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid,
2.      Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagianatas, dan infeksi yang disertai diare dan demam,
3.      Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang,
4.      Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin (suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot) dan obat-obat lainnya.
Pada pemeriksaan neurologik tidak ditemukan kelainan. Gejala kelemahan otot dapat diprovokasi oleh aktivitas, stres, nervositas, demam dan obat-obat tertentu seperti B-blocker, derivat kinine, aminoglikosida dan lain-lain. Dulu diduga Miastenia gravis tidak timbul sebelum pubertas, akan tetapi dengan uji prostigmin dapat dibuktikan pada anak umur 18 bulan – 10 tahun. Millichap dan Dodge membagi Miastenia gravis pada anak dalam 3 tipe (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986) :
1.                  Neonatal transient Miastenia gravis
Tipe ini terdapat pada 10-20% bayi baru lahir dari ibu-ibu yang menderita Miastenia gravis. Beratnya gejala tidak berkaitan dengan beratnya penyakit pada ibu . Segera atau beberapa jam setelah lahir, bayi menjadi lemah, nabgis dan gerakan berkurang, tidak dapat mengisap, sukar menelan, pernapasan melemah. Gejalaini berlangsung tidak lebih dari 1 Bulan dan bayi berangsur-angsur kembali normal karena masuknya anti-AChR dari ibu secara transplasenter ke dalam tubuh bayi.
2.                  Neonatal persistent Miastenia gravis (congenital Miastenia gravis)
Gejala timbul pada waktu lahir, tetapi ibunya tidak sakit Miastenia gravis. Gejala hampir sama dengan tipe neonatal transient Miastenia gravis, bersifat ringan, berlangsung lama,makin lama makin buruk . Relatif resisten terhadap pengobatan dan remisi komplit jarang.
3.                  Juvenile Miastenia gravis
Tipe ini timbul pada umur 2 tahun sampai remaja. Keluhan dan gejala sama seperti pada orang dewasa dan gejala pertama biasanya diplopia dan ptosis atau gejala THT seperti gangguan mengunyah, menelan atau suara sengau.

2.6 Komplikasi
Krisis miasthenic merupakan suatu kasus kegawat daruratan yang terjadi bila otot yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal pernapasan akut dan pasien seringkali membutuhkan respirator untuk membantu pernapasan selama krisis berlangsung. Komplikasi lain yang dapat timbul termasuk tersedak, aspirasimakanan, dan pneumonia. Faktor-faktor yang dapat memicu komplikasi pada pasien termasuk riwayat penyakit sebelumnya (misal, infeksi virus pada pernapasan), pascaoperasi, pemakaian kortikosteroid yang ditappering secara cepat, aktivitas berlebih (terutama pada cuaca yang panas), kehamilan, dan stressemosional.

1.      Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan suatu bentuk pencegahan yang dilakukan pada saat individu belum menderita sakit. Bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan cara promosi kesehatan atau penyuluhan degan cara memberikan pengetahuan bagaimana penanggulangan dari penyakit Miastenia gravis yang dapat dilakukan dengan;
a.          Memberi pengetahuan untuk tidak mengkonsumsi minum-minuman beralkohol, khususnya apabila minuman keras tersebut dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin. Kuinin ini merupakan suatu obat yang memudahkan terjadinya kelemahan otot.
b.         Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien Miastenia gravis ini terjadi pada saat mereka dalam kondisi yang lelah dan tegang.
2.      Pencegahan Sekunder
Pencegahan ini ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit dan menunjukkan adanya tanda dan gejala. Pada tahap ini yang dapat dilakukan adalah dengan cara pengobatan antara lain dengan mempengaruhi proses imunologik pada tubuh individu, yang bisa dilaksanakan dengan; Timektomi, Kortikosteroid, Imunosupresif yangbiasanya menggunakan Azathioprine.
3.      Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier (rehabilitasi), pada bentuk pencegahan ini mengusahakan agar penyakit yang di derita tidak menjadi hambatan bagi individu serta tidak terjadi komplikasi pada individu. Yang dapat dilakukan dengan;
a.                   Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh individu.
b.                  Istirahat yang cukup
c.                   Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang dilengkapi dengan pengait kelopak mata.
d.               Mengontrol pasien Miastenia gravis untuk tidak minum obat-obatan tikolinesterase secara berlebihan.

2.7 Penatalaksanaan
Pada pasien dengan Miastenia gravis harus belajar dalam batasan yang ditetapkan oleh penyakit yang mereka derita ini. Mereka memerlukan tidur selama 10 jam agar dapat bangun dalam keadaan segar, dan perlu menyelingi kerja dengan istirahat. Selain itu mereka juga harus menghindari factor-faktor pencetus dan harus minum obat tepat pada waktunya (SilviaA. Price, Lorain M. Wilson. 1995).
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terbukti memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).
Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu
1.      Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:
a.       Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akan bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawah ambang rangsang dapat berkontraksi.
b.      Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin per os dan pada anak besar 30 mg, kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.
2.      Mempengaruhi proses imunologik
a.       Timektomi
Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun ± 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan40-50% mengalami perbaikan.
b.      Kortikosteroid
Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahan sampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler.
c.       Imunosupresif 
Yaitu dengan menggunakan Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 2½ mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat.
d.      Plasma exchange
Berguna untuk mengurangi kadar anti-AChR; bila kadar dapat diturunkan sampai 50% akan terjadi perbaikan klinik.
3.      Penyesuaian penderita terhadap kelemahan otot
Tujuannya agar penderita dapat menyesuaikan kelemahan otot dengan:
a.       Penjelasan mengenai penyakitnya untuk mencegah problem psikis.
b.      Alat bantuan non medika mentosa Pada Miastenia gravis dengan ptosis diberikan kaca mata khususyang dilengkapi dengan pengkait kelopak mata. Bila otot-otot leher yang kena, diberikan penegak leher. Juga dianjurkan untuk menghindari panas matahari, mandi sauna, makanan yang merangsang, menekan emosi dan jangan minum obat-obatan yang mengganggu transmisi neuromuskuler seperti B-blocker, derivat kinine, phenintoin, benzodiazepin, antibiotika seperti aminoglikosida, tetrasiklin dan d-penisilamin.

2.8 Prognosis
Pada anak, prognosis sangat bervariasi tetapi relatif lebih baik daripada orang dewasa. Dalam perjalanan penyakit, semua otot serat lintang dapat diserang, terutama otot-otot tubuh bagian atas, 10% Miastenia gravis tetap terbatas pada otot-otot mata, 20% mengalami insufisiensi pernapasan yang dapat fatal, 10%,cepat atau lambat akan mengalami atrofi otot. Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun, kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan ± 20% antaranya mengalami remisi. Remisi spontan pada awal penyakit terjadi pada 10% Miasteniagravis (Endang Thamrin dan P. Nara, 1986).



2.9 Patofisiologi Gambaran Penyakit Secara Menyeluruh
Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu anterior medulla spinalis dan batang otak mempersarafi otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial menuju ke perifer. Masing-masing saraf bercabang banyak sekali dan mampu merangsang sekitar 2000 serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang dipersarafi dinamakan unit mototrik. Meskipun setiap neuron mototrik mempersarafi banyak serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik. Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps neuromuskular atau hubungan neuromuscular. Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200Ã….Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmitter. Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal (bouton). Membran plasma akson terminal disebut membran presinaps. Unsur postsinaps terdiri dari membran postsinaps atau lempeng akhir motorik serabut otot. Membran postsinapsdibentuk oleh invaginasi selaput otot atau sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan (celah-celah subneural) yang sangat menambah luas permukaan. Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor asetilkolin dan mampu menghasilkan potensial lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan potensial aksi otot. Pada membran postsinaps juga terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinesterase. Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut terisi semacam zatgelatin, dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka membranakson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akandilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinapsdan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada membran postsinaps. Influks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyababkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membrane otot yang tidakberhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase. Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan potensial aksi. Pada Miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin dikarenakan cedera autoimun.
Pada klien dengan Miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak digunakan. Secara mikroskopis beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak dapat ditemukan kelainan yang konsisten.














2.10 Pathway Miasthenia Gravis








 

 

BAB 3
Asuhan Keperawatan
Dengan Miesthania Gravis
3.1  Pengkajian
a)      Anamnesis
Identitas klien :
            Nama                           : Tn. X
            Alamat                                    : Jl. Sudirman no. 42 Cimahi, Bandung
            Jenis kelamin               : Laki-laki
            Umur                           : 60 Th
Status                          : Menikah
Agama                         : Islam

Keluhan utama :
            Kelemahan otot
Riwayat kesehatan :
            Diagnosa miasenia didasarkan pada riwayat dan pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan pasial setelah istirahat sangatlah menunukkan miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.
      Pemeriksaan Fisik
1.      -   Keadaan umum       :                                                                       1. Keadaan Umum
-      Tingkat kesadaran   :
-      GCS                        :
-      TTV                         :
TD     : ………… mmHg
N       : ………… x/menit
S        : ………… oC
RR     : ………… x/menit        

2.   Pengkajian persistem
a. Sistem integumen
Kaji warna kulit, turgor kulit, kelembaban kulit, akral, kebersihan rambut dan kuku.
b. Sistem penginderaan
Kaji bentuk mata, hidung, telinga, mukosa bibir, ada atau tidaknya lesi.
c.    Sistem pernafasan
Kaji bentuk dada, irama dan frekuensi nafas.
d. Sistem cardiovaskuler
Kaji irama dan frekuensi denyut nadi
e.     Sistem pencernaan
Biasanya klien mengalami kesulitan mengunyah dan menelan
f.        Sistem perkemihan
Biasanya mengalami inkontinensia urine
g.      Sistem muskuluskeletal
Biasanya klien mengalami kelemahan otot pada bagian tertentu.
h.      System persarafan
Saraf I : Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan
Saraf II : Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering mengeluh adanya penglihatan ganda
Saraf III, IV dan VI : Sering didaptkan adanya ptosis. Adanya oftalmoglegia (dapat dilihat pada gambar 8-5), mimik dari pseudointernuklear oftalmoglegia akibat gangguan motorik pada saraf VI
Saraf V : Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan pada otot-otot wajah.
SarafVII : Persepsi pengecapan teganggu akibat adanya gangguan motorik lidah/triple-furrowed lidah
Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X : Ketidakmampuan dalam menelan
Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternoklidomastoideus dan trapezius
Saraf XII : Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot motorik pada lidah/triple-furrowed lidah
      CT Scan
3. 2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan meliputi hal berikut :
1.      Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelemahan ototpernapasan.
2.      Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kelemahanfisik umum, keletihan.
3.      Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot fasial atau oral.
4.      Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal.
3.3  Analisa Data
1.       
Do:
·         Perubahan gerakan dada
·         Penurunan tekana ekspirasi/inspirasi
·         Napas dalam
·         Pernapasan cuping hidung.
Ds :
·         Dispnea
·         Napas pendek
Otot pernapasan

Kelemahan otot-otot pernapasan


 
Ketidak mampuan batuk efektif


Ketidakefektifan pola napas
2.       
Do :
·         Penurunan waktu reaksi
·         Kesulitan bergerak
·         Melambatnya pergerakan
·         Pergerakan tak terkoordinasi
·         Keterbatasan rentang gerak
Ds: -
Kelemahan otot-otot
(Miasthenia Gravis)

Otot volunter
 

Kelemahan otot-otot rangka

Hambatan mobilitas fisik

3.       
Do :
·         Kesulitan mengolah kata-kata atau kalimat
·         Tidak atau tidak dapat berbicara
·         Dispnea
·         Verbalisasi tidak sesuai
·         Bicara pelo
·         Bicara gagap
·         Keinginan menolak untuk bicara

Ds: -
Kelemahan otot-otot
(Miasthenia Gravis)

Otot wajah, laring, faring


 
Regurgitasi makanan ke hidung pada saat menelan


 
Suara abnormal ketidak mampuan menutup rahang

Kerusakan komunikasi verbal

4.       
Do :
·         Depersonalisasi bagian tubuh
·         Takut atau penolakan reaksi dari orang lain
·         Preokupasi perubahan atau kehilangan
·         Menolak untuk memverivikasi perubahan actual
Ds:
·         Perubahan actual pada struktur atau fungsi tubuh
·         Perubahan pada keterlibatan social
·         Kehilangan bagian tubuh
·         Tidak melihat bagian tubuh
·         Tidak menyentuh bagian tubuh
Kelemahan otot-otot
(Miasthenia Gravis)
 

Otot-otot ocular
 

Gangguan otot levator palpebra


 
Ptosis & Diplopia

Gangguan citra tubuh


3.4  Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan:  Ketidakefektifan pola nafas b.d kelemahan otot pernapasan.
       Tujuan                           : Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi polapernapasan klien kembali efektif 
       Kriteria Hasil                 : Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalambatas normal, bunyi nafas terdengar jelas, respiratorterpasang dengan optimal
                        Intervensi
Rasional
Kaji kemampuan ventilasi
Untuk klien dengan penurunan kapasitasventilasi, perawat mengkaji frekuensipernapasan, kedalaman, dna bunyi nafas,pantau hasil tes fungsi paru-paru (volume tidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi),dengan interval yang sering dalammendeteksi masalah pau-paru, sebelumperubahan kadar gas darah arteri dansebelum tampak gejala klinik.

Kaji kualitas, frekuensi,dan kedalamanpernapasan, laporkansetiap perubahan yangterjadi.
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dankedalaman pernapasan, kita dapatmengetahui sejauh mana perubahan kondisiklien.
Baringkan klien dalamposisi yang nyamandalam posisi duduk
Penurunan diafragma memperluas daerahdada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
Observasi tanda-tandavital (nadi,RR).
Peningkatan RR dan takikardi merupakanindikasi adanya penurunan fungsi paru

2. Dx Keperawatan       : Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungandengan kelemahan fisik umum, keletihan.
Tujuan                      :Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untukmenghilangkan edema inflamasi dan memungkinkanpenyembuhan aksi siliaris normal. Infeksi pernapasan minoryang tidak memberikan dampak pada individu yang memilikiparu-paru normal, dapat berbahaya bagi klien dengan PPOM.
Kriteria Hasil            :Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit, dan kemampuan batuk efektif dapat optimal,tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh.
Intervensi
Rasional
Kaji kemampuan kliendalam melakukanaktivitas
Menjadi data dasar dalam melakukanintervensi selanjutnya.
Atur cara beraktivitasklien sesuai kemampuan
Sasaran klien adalah memperbaiki kekuatandan daya tahan. Menjadi partisipan dalampengobatan, klien harus belajar tentangfakta-faakta dasar mengenai agen-agenantikolinesterase-kerja, waktu, penyesuaiandosis, gejala-gejala kelebihan dosis, danefek toksik. Dan yang penting padapengguaan medikasi dengan tepat waktuadalah ketegasan.
Evaluasi kemampuanaktivitas motorik
Menilai singkat keberhasilan dari terapiyang boleh diberikan

3. Diagnosa Keperawatan:Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral.
       Tujuan                           :Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat.
       Kriteria Hasil                 :Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi, klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.
Intervensi
Rasional
Kaji komunikasi verbal klien.
Kelemahan otot-otot bicara klien krisis miastenia gravis dapat berakibat pada komunikasi.
Lakukan metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klien.
Teknik untuk meningkatkan komunikasi meliputi mendengarkan klien, mengulangi apa yang mereka coba komunikasi kandengan jelas dan membuktikan yang diinformasikan, berbicara dengan klien terhadap kedipan mata mereka dan atau goyangkan jari-jari tangan atau kaki untuk menjawab ya/tidak. Setelah periode krisis klien selalu mampu mengenal kebutuhan mereka.
Beri peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara, sediakan belkhusus bila perlu
Untuk kenyamanan yang berhubungan dengan ketidak mampuan komunikasi.
Antisipasi dan bantu kebutuhan klien.
Membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau ketidak mampuan berkomunikasi.
Ucapkan langsung kepada klien dengan berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan jawaban ”ya” atau”tidak” dan perhatikan respon klien
Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi. Memajukan stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.
Kolaborasi: konsultasi keahli terapi bicara.
Mengkaji kemampuan verbal individual, sensorik, dan motorik, serta fungsi kognitif untuk mengidentifikasi defisit dan kebutuhan terapi

4. Diagnosa Keperawatan    :Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis,ketidak mampuan komunikasi verbal.
     Tujuan                             : Citra diri klien meningkat.
     Kriteria Hasil                   :Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan dir iterhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi
Rasional
Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidak mampuan.
Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi.
Identifikasi arti dari kehilangan ataudisfungsi pada klien.
Beberapa klien dapat menerima dan mengatur beberapa fungsi secara efektif dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai kesulitan membandingkan mengenal dan mengatur kekurangan.
Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan.
Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengontrol lebih dari satu areakehidupan.
Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal untuk dirinya sebanyak-banyaknya.
Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harga diri serta mempengaruhi proses rehabilitasi.
Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada indikasi.
Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan.

3.4. Implementasi Keperawatan
Tahap ini merupakan pengelolaan, perwujudan, serta bentuk tindakan nyata dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap intervensi.

3.5. Evaluasi Keperawatan
Tahap evaluasi merupakan suatu penilaian terhadap proses keperawatan yang telah dilakukan. Dengan kata lain, evaluasi merupakan suatu bentuk perbandingan antara hasil-hasil yang diperoleh dengan kriteria hasil yang telah dibuat sebelumnya pada tahap intervensi. Berikut adalah evaluasi dari diagnosa proses keperawatan diatas:
1.      Keefektifan fungsi pernapasan.
2.      Batuk secara optimal bisa dilakukan
3.      Fungsi komunikasi sudah adekuat ditunjukkan dengan penggunaan baik dengan bahasa isyarat maupun verbal secara optimal.

3.6 Peranan Keperawatan
            Dalam proses pencegahan ataupun penyembuhan Miastenia gravissangat penting dilakukan oleh perawat. Adapun peran perawat pada individu dengan Miastenia gravis antara lain:
1.      Care giver (pemberi perawatan),
Dimana perawat memberikan perawatan secara langsung pada klien Miastenia gravis dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan dasar klien seperti pada saat pasien menunjukkan gejala sesak nafas, maka perawat harus meninggikan bagian kepala tempat tidur 30-40 derajat, karena dengan posisi ini akan memudakan upaya untukbernafas

2.      Pendidik
Perawat harus mengajarkan atau memberi pendidikan baik padaklien ataupun pada keluarga mengenai penatalaksaan jangka panjang dalam penanganan pemyakit Miastenia gravis ini. Sehingga diharapkan klien dan keluarga dapat memahami dengan baik tentang proses penyakit kronis yang memungkinkan dapat mengenali gejala yang bisa menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.
3.      Pengawas kesehatan
Perawat perlu mengawasi klien dengan cara melakukan kunjungan rumah (home visit) secara periodik yang bertujuan untukmengetahui sebagaimana jauh perkembangan setelah menjalani pengobatan dan perawatan.
4.      Konsultan
Perawat sebagai narasumber baik pada klien maupun keluargadalam mengatasi masalah yang timbul, seperti bila tidak mengetahui atau lupa dalam memberikan obat-obatan baik kapan maupun jumlah dosis, maka perawat perlu memberikan nasehat kepada mereka.Waktu yang tepat dalam pemberian obat sesuai dosis yang akurat berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energy. Dengan memberikan obat sebelum makan akan memberikan kekuatan otot untuk mengunyah makanan.
5.      Kolaborasi
Perawat harus mampu berkolaborasi atau bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan penanganan pada masalah klien. Dengan adanya kerjasama ini, maka pemberian asuhan keperawatan bisa sesuai dengan pengobatan yang seharusnya diberikan.











DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 1995. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan: Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif . Edisi 2. Jakarta: PenerbitBuku Kedokteran EGC, hal: 293-297
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871
Dewabenny. 2008. Miastenia Gravis. http://dewabenny.com/ 2008/ 07/12/ miastenia-gravis. (3 September 2009)
Endang Thamrin dan P. Nara. 1986. Cermin Dunia Kedokteran. No. 41, 1986.Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma, hal: 40-42
Mubarak, Husnul. 2008. Miastenia gravis. http://cetrione.blogspot.com/ 2008/06/miastenia-gravis.html. (3 September 2009)
Silvia A. Price, Lorain M. Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- proses Penyakit. Edisi 4. Buku 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,hal: 998 – 1003
Qittun. 2008. Asuhan keperawatan dengan Miastenia Gravis.http://qittun.blogspot.com/2008/05/asuhan-keperawatan-dengan-miastenia.html. (3 September 2009)












0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 ANAK PERAWAT All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.