0
ASKEP EMFISEMA
Posted by Unknown
on
13.15
in
Kuliah
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak
penyakit yang dikaitkan secara langsung dengan kebiasaan merokok. Salah satu
yang harus diwaspadai adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) / Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD).
Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan wanita 2% angka kematian 4%, umur di atas 45 tahun, (Barnes, 1997). Pada tahun 1976 ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan tahun 1977 jumlah kematian oleh karena PPOK sebanyak 45.000, termasuk penyebab kematian di urutan kelima (Tockman MS., 1985). Menurut National Health Interview Survey, didapatkan sebanyak 2,5 juta penderita emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30% lebih memerlukan rawat tinggal di rumah sakit. The Tecumseh Community Health Study menemukan 66.100 kematian oleh karena PPOK, merupakan 3% dari seluruh kematian, serta urutan kelima kematian di Amerika (Muray F.J.,1988). Peneliti lain menyatakan, PPOK merupakan penyebab kematian ke-5 di Amerika dengan angka kematian sebesar 3,6%, 90% terjadi pada usia di atas 55 tahun (Redline S, 1991 dikutip dari Amin 1966). Pada tahun 1992 Thoracic Society of the Republic of China (ROC) menemukan 16% penderita PPOK berumur di atas 40 tahun, pada tahun 1994 menemukan kasus kematian 16,6% per 100.000 populasi serta menduduki peringkat ke-6 kematian di Taiwan (Perng, 1996 dari Parsuhip, 1998).
Di Indonesia
tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis
kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di
Indonesia (Hadiarto, 1998). Survey Penderita PPOK di 17 Puskesmas Jawa Timur
ditemukan angka kesakitan 13,5%, emfisema paru 13,1%, bronkitis kronik 7,7% dan
asma 7,7% (Aji Widjaja 1993). Pada tahun 1997 penderita PPOK yang rawat inap di
RSUP Persahabatan sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837
atau 18,95% (Hadiarto, 1998). Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2003
ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368
(14%).
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, angka kematian PPOK tahun 2010 diperkirakan
menduduki peringkat ke-4 bahkan dekade mendatang menjadi peringkat ke-Semakin
banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi
perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK.
Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menemukan peningkatan konsumsi rokok tahun
1970-1993 sebesar 193% atau menduduki peringkat ke-7 dunia dan menjadi ancaman
bagi para perokok remaja yang mencapai 12,8- 27,7%. Saat ini Indonesia menjadi
salah satu produsen dan konsumen rokok tembakau serta menduduki urutan kelima
setelah negara dengan konsumsi rokok terbanyak di dunia, yaitu China
mengkonsumsi 1.643 miliar batang rokok per tahun, Amerika Serikat 451 miliar
batang setahun, Jepang 328 miliar batang setahun, Rusia 258 miliar batang
setahun, dan Indonesia 215 miliar batang rokok setahun. Kondisi ini memerlukan
perhatian semua pihak khususnya yang peduli terhadap kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat.
Atas dasar
itulah, kami membahas lebih lanjut mengenai emfisema yang merupakan salah satu
bagian dari PPOK khususnya mengenai Asuhan Keperawatan pada Klien Emfisema.
Sehingga diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada
klien emfisema.
1.2 Rumusan Masalah
1.1 Bagaimana
konsep teori dari emfisema?
1.2 Bagaimana asuhan keperawatan pada
klien dengan emfisema?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami asuhan
keperawatan pada klien dengan emfisema.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi emfisema.
2. Mengetahui dan memahami etiologi emfisema.
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi emfisema.
4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis yang
dapat ditemukan pada klien dengan emfisema.
5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan klien
dengan emfisema.
6. Mengetahui dan memahami WOC dari emfisema.
7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari emfisema.
8. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien
dengan emfisema.
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu membuat perencanaan
asuhan keperawatan pada kasus emfisema.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Empisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya
secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai
kerusakan dinding alveolus. (The American
Thorack Society 1962) atau perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai
pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar.
Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus
menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi. (Kus Irianto.2004.216). Emfisema
merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang udara
distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.
(Robbins.1994.253).
Emfisema adalah penyakit obtruktif
kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas permukaan alveoli. (Corwin.2000.435).
Emfisema adalah istilah, progresif-penyakit panjang dari paru-paru yang
terutama menyebabkan sesak napas.(Wikepidia, 2010).
2.2 Klasifikasi
Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan
yang terjadi dalam paru-paru :
2.2.1 Panlobular (Emfisema Panlobular / PLE)
PLE terjadi
akibat kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Semua ruang
udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit
inflamasi. Panlobular merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang,
dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami
pembesaran serta kerusakan secara merata.
PLE ini
mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru, ciri
khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat
aktivitas, dan penurunan berat badan. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil
penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat
usia tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui,
tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzimalfa 1-antitripsin.
Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat
penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara
alami (Cherniack dan cherniack,
1983)
2.2.2
Sentrilobular
(CLE)
CLE adalah perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder,
dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi kekacauan rasio
perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2
dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan.
Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas.
CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius.
Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung
menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris yang lebih distal dapat
dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas
paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan
pada pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada
mereka yang tidak merokok (Sylvia A.Price 1995).
2.2.3
Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah
yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer
paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak
spontan.
PLE dan CLE sering kali ditandai
dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya
penyumbatan katup pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkiolus
melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan
banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali
menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.
2.3 Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu
:
2.3.1
Rokok
Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan
pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar,
menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus. Secara patologis
rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia
epitel skuamus saluran pernapasan.
2.3.2 Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan
emfisema. Insiden dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi
di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap
tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar.
2.3.4
Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru
lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis
akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
2.3.5 Genetik
Faktor
genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya
adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar
imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit
obstruksi paru pada keluarga. Kondisi yang relatif jarang yang dikenal sebagai
kekurangan alpha 1-antitrypsin adalah kekurangan genetik dari kimia yang
melindungi paru dari kerusakan oleh proteases.
2.3.6
Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim
proteolitik elastase dananti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.
Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur
paruakan berubah dan timbul emfisema.
2.3.7
Penuaan
Emphysema adalah juga komponen dari penuaan (aging).
Ketika paru- paru menua, sifat-sifat elastisnya berkurang, dan tegangan-tegangan
yang berkembang dapat berakibat pada area-area yang kecil dari emphysema. Penyebab-penyebab
yang kurang umum lain dari emphysema termasuk:
1.
Penggunaan obat intravena dimana beberapa dari additive-additive yang bukan obat
seperti tajin jagung dapat beracun pada jaringan paru.
2.
Kekurangan-kekurangan imun dimana infeksi-infeksi
seperti Pneumocystis jiroveci dapat
menyebabkan perubahan-perubahan peradangan dalam paru.
3.
Penyakit-penyakit jaringan penghubung (Ehlers-Danlos Syndrome, Marfan syndrome)
dimana jaringan elastis yang abnormal dalam tubuh dapat menyebabkan kegagalan
alveoli
2.4
Manifestasi Klinis
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi
sedikit demi sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok
berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran
nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada
umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada
umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas
dan meninggal dunia. Pada pengkajian fisik didapatkan :
2.4.1 Dispnea
2.4.2 Pada
inspeksi: bentuk dada burrel chest.
2.4.3 Pernapasan
dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot aksesori
pernapasan (sternokleidomastoid).
2.4.4 Pada
perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.
2.4.5 Pada
auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan
ekspirasi.
2.4.6 Anoreksia,
penurunan berat badan, dan kelemahan umum.
2.4.7 Distensi
vena leher selama ekspirasi.
2.5 Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding
alveolus yang akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan
udara akan tergangu akibat dari perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan
terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru-paru untuk melakukan pertukaran O2
dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat
dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alveoli, jalan nafas kolaps
sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat
alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang
disebut blebs dan di antara parenkim paru-paru yang disebut bullae.
Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada ‘dead space’ atau
area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Emfisema juga menyebabkan
destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan perfusi O2
dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika sesuai dengan
usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya
berhubungan dengan bronkhitis dan merokok.
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan
saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari
elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT
merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT
dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam
paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan
kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul
emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan
infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti
elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1
anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara
elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan
menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan
antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan
intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan
paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang
menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru
akan tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding
alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang.
Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi
kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan
maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia
dan sesak nafas.
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan
alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau
terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan
dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi sebagian yang mengenai suatu
bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi
lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara
yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.
2.6 Komplikasi
2.6.1 Sering mengalami infeksi pada saluran
pernafasan
2.6.2 Daya tahan tubuh kurang sempurna
2.6.3 Tingkat kerusakan paru semakin parah
2.6.4 Proses peradangan yang kronis pada saluran
nafas
2.6.5 Pneumonia
2.6.6 Atelaktasis
2.6.7 Pneumothoraks
2.6.8 Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.
2.7 Pemeriksaan diagnostik
1.
Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru;
mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula
(emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama
periode remisi (asma).
2.
Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab
dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau
restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi
efek terapi, mis., bronkodilator.
3.
TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan
kadang-kadang pada asma; penurunan emfisema
4.
Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema
5.
Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis
kronis, dan asma
6.
FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas
vital kuat menurun pada bronkitis dan asma.
7.
GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronish. Bronkogram:
dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial
pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada
bronkitis.
8.
JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema
luas), peningkatan eosinofil (asma).
9.
Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk
meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
10. Sputum:
kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen;
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
11. EKG: deviasi
aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis),
peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis
vertikal QRS (emfisema)
12. EKG latihan,
tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi
keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan
2.8 Mendiagnosa Emphysema
Seperti kasus dengan kebanyakan penyakit-penyakit, dokter akan mengambil
sejarah yang teliti untuk mempelajari tentang gejala-gejala paru dan
pernapasan. Untuk format pertanyaan yang dibuat adalah :
1.
Telah berapa lama hadirnya sesak napas ?
2.
Apa yang membuatnya lebih baik ?
3.
Apa yang membuatnya lebih buruk ?
4.
Apakah ada infeksi baru-baru ini ?
5.
Apakah gejala-gejalanya menjadi lebih parah ?
6.
Apakah pasien merokok ?
7.
Apakah pasien terpapar pada asap rokok tangan kedua
atau uap-uap atau asap-asap beracun lainnya ?
8.
Apakah ada sejarah penyakit paru keluarga ?
2.9 Penatalaksanaan Medis
1. Bronkodilator
Bronchodilators digunakan
untuk mengendurkan otot-otot halus yang mengelilingi bronchioles dan
mengizinkan tabung-tabung pernapasan untuk melebar/membesar dan mengizinkan
lebih banyak aliran udara. Obat-obat ini dapat dihirup menggunakan MDI (metered dose inhaler), powder inhaler devices, atau nebulizer machine. Obat-obat ini
dapat bekerja jangka pendek atau panjang. Baru-baru ini, propellant (bahan pembakar) untuk
MDIs , chlorofluorocarbons (CFCs)
telah dihilangkandari pasar karena efek dari agen-agen ini pada lapisan ozone diatmosphere. Propellants
ini telah digantikan dengan hydrofluoric
alkanes(HFAs).
Bronchodilators yang bekerja singkat termasuk agen-agen albuterol(Ventolin
HFA, Proventil HFA, dan Pro Air) dan agen anticholinergic, ipratropium bromide
(Atrovent).
Sebagai sampingan, dahulu pasien-pasien telah diinstruksikan
untuk menghitung jumlah dari tiupan-tiupan yang digunakan dari alat-alat
ini atau "mengapungkan" penghirup dalam air untuk menentukan jumlah
obat tersisa yang tersedia. Alat-alat HFA tidak dapat diapungkan, dan menghitung
jumlah dari tiupan-tiupan adalah metode satu-satunya yang tersedia untuk
menentukan kehadiran yang terus menerus dari obat. Satu alat, Ventolin HFA,
mempunyai penghitung didalamnya. Adalah penting untuk mengerti bahwa kehadiran
semata-mata dari propellant yang datang dari penghirup tidak perlu berarti
bahwa obatnya hadir.
Agen-agen yang bekerja lama termasuk salmeterol (Serevent), formoterol
(Foradil) dan tiotropium (Spiriva). Sering bronchodilator yang bekerja
lama digunakan untuk mengontrol gejala-gejala dari emphysema sebagai terapi
pemeliharaan, dan yang bekerja singkat digunakan ketika gejala-gejala menyala
atau timbul (terapi pertolongan). Adalah penting bahwa pasien mengetahui
obat mana yang diresepkan, karena penghirup- penghirup (inhalers) yang
bekerja lama tidak dapat digunakan untuk pertolongan karena
timbulnya aksi yang tertunda.
2. Terapi Aerosol
Aerosolisasi
dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu
dalam bronkodilatasi. Aerosol yang dinebuliser menghilangkan brokospasme,
menurunkan edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronchial. Hal ini
memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan prosesi nflamasi,
dan memperbaiki fungsi ventilasi.
3. Pengobatan Infeksi
Pasien
dengan emfisema rentan terjadap infeksi paru dan harus diobati pada saat awal
timbulnya tanda-tanda infeksi. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin,
ampisilin, amoksisilin, atau trimetroprim-sulfametoxazol biasanya diresepkan.
4. Kortikosteroid
Digunakan
setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi.
Prednison biasanya diresepkan. Karena kebanyakan pasien-pasien tidak
mempunyai emphysema yang murni dan biasanya juga mempunyai
komponen-komponen lain dari COPD, terapi yang digabungkan seringkali diresepkan
yang termasuk bronchodilator yang bekerja lama dan corticosteroid yang
dihirup.
Kortikosteroid
yang dihirup atau inhaled corticosteroid
(ICS) membantu menekan komponen-komponen yang meradang dari COPD. Agen-agen ini
seperti Advair, yang adalah campuran dari salmeterol (Serevent) dan fluticasone
(Flovent), ICS, lebih jauh menyederhanakan perawatan ke
alat penghirup tunggal. Studi-studi telah dilakukan di Eropa pada agen
yang serupa, Symbicort (kombinasi dari formoterol (Foradil) dan budesonide
(Pulmicort), ICS yang lain), dan sekarang ini dalam perjalanan di Amerika.
Banyak
pasien-pasien dengan emphysema perlu hanya meminum steroids ketika
gejala-gejalanya menyala (timbul), namun yang lain-lainmemerlukan terapi
harian. Corticosteroids mempunyai aksi yang langsung pada jaringan paru.
Penyerapan kedalam aliran darah adalah minimal. Prednisone, corticosteroid
oral, dapat diminum sebagai tambahan padasteroid yang dihirup jika lebih jauh
efek-efek anti peradangan diperlukan. Pada situasi-situasi darurat,
corticosteroids mungkin disuntikan secaraintravena.
5. Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup
pada pasien dengan emfisema berat. Ketika penyakit berlanjut, pasien-pasien
mungkin memerlukan suplemen oksigen untuk mampu berfungsi. Seringkali ia mulai
dengan penggunaan malam hari, kemudian dengan latihan/olahraga, dan ketika
penyakit memburuk, keperluan untuk menggunakan oksigen selama seharian untuk
aktivitas-aktivitas rutin meningkat.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
1.1 Pengkajian
1.1.1
Identitas Klien
Nama
: Ank. A
TTL : 17/11/2005
TTL : 17/11/2005
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur : 7 tahun
Umur : 7 tahun
Pekerjaan :
Nama Ayah/ Ibu : Tn. M (Alm) / Ny.M
Pekerjaan ibu : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Kedinding 78, Surabaya
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Pendidikan terakhir : SD
Pendidikan terakhir ibu : SD
Nama Ayah/ Ibu : Tn. M (Alm) / Ny.M
Pekerjaan ibu : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Kedinding 78, Surabaya
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Pendidikan terakhir : SD
Pendidikan terakhir ibu : SD
Diagnosa : Emfisema
1.1.2
Riwayat Sakit
dan Kesehatan
1.
Keluhan Utama : sesak napas.
2.
Riwayat Penyakit Sekarang :
An. A tinggal bersama ibu dan dua kakaknya.
An. A mengeluh sesak napas, batuk, dan nyeri di daerah dada sebelah kanan pada
saat bernafas. Banyak sekret keluar ketika batuk, berwarna kuning kental. An. A
tampak kebiruan pada daerah bibir dan dasar kuku. An. A merasakan sedikit nyeri
pada dada. An. A cepat merasa lelah saat melakukan aktivitas.
3.1.3 Riwayat
Penyakit dahulu :
An. A selama 3 tahun terakhir
mengalami batuk produktif dan pernah menderita pneumonia.
1.1.3
Riwayat Keluarga :
Tidak Ada
3.2. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
1.
Keadaan Umum : Baik, Kesadaran Kompos Mentis
2.
Tanda-Tanda Vital :
S
: 37,40C
N :102 x/mnt
TD :130/80 mmHg
RR : 30 x/mnt
3.3. Review
of System
1. Pernafasan B1 (breath)
Bentuk dada : barrel chest
Pola nafas : tidak teratur
Suara napas : mengi
Batuk :
ya, ada sekret
Retraksi otot bantu
napas : ada
Alat bantu pernapasan :
O2 masker 6 lpm
2. Kardiovaskular B2 (blood)
Irama jantung :
regular; S1,S2 tunggal.
Nyeri dada :
ada, skala 6
Akral :
lembab
Tekanan darah :
130/80 mmHg (hipertensi)
Saturasi Hb O2 : hipoksia
3. Persyarafan B3 (brain)
Keluhan pusing (-)
Gangguan tidur (-)
4. Perkemihan B4 (bladder)
Kebersihan : normal
Bentuk alat kelamin : normal
Uretra : normal
5. Pencernaan B5 (bowel)
Nafsu makan :
anoreksi disertai mual
BB :
menurun
Porsi makan :
tidak habis, 3 kali sehari
Mulut :
bersih
Mukosa :
lembab
6. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
Turgor kulit :
Berkeringat
Massa otot :
menurun
3.4 Pengkajian Psikologi dan
Spiritual
Klien
kooperatif, tetap rajin beribadah dan
memohon agar penyakitnya bisa disembuhkan.
3.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar x dada: Xray tanggal 12
November dengan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area
udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan
tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
Kesimpulan
: emfisema paru.
2.
pO2 : 75 mmHg (↓)
3.
pCO2 : 50 mmHg (↑)
4.
SO3 : 100%
3.6 Analisa Data
No.
|
Data
|
Etiologi
|
Masalah
|
1.
2.
3.
|
Ds:
Klien
mengeluh sesak napas
Do:
1.
pO2
: 75 mmHg ( )
2. pCO2
: 50 mmHG ( )
3. SO3 : 100%
DS :
Klien mengeluh
berat saat bernapas
DO :
-
Retraksi otot bantu napas
-
RR : 30 x/menit
|
-
Infeksi/ pneumonia
-
Polusi
-
Usia
-
Merokok
Defisiensi enzim
alfa-1-antitripsin, enzim protease
Inflamasi
-
Elastisitas
paru menurun
-
Destruksi
jaringan paru
Pelebaran
ruang udara di dalam paru (bronkus terminal menggembung)
CO2 meningkat / udara terperangkap dalam paru
-
Sesak
-
RR > 20 x/menit
-
CO2 àhiperkapnia
-
O2àhipoksia
Gangguan pertukaran gas
Destruktif
kapiler paru
-
Penurunan perfusi O2
-
Sianosis
Penurunan perfusi
jaringan perifer
Penurunan
ventilasi
Peningkatan
upaya menangkap O2
RR meningkat
Retraksi otot
bantu napas
Pola napas tidak efektif
|
Gangguan pertukaran gas
Pola napas tidak efektif
|
3.6 Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveoli yang reversible.
2. Pola
pernapasan berhubungan dengan ventilasi alveoli.
3. Bersihan
jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret.
4. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai
oksigen.
3.7 Intervensi Keperawatan
No.
|
Diagnosa
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Gangguan pertukaran
gas berhubungan dengan kerusakan alveoli yang reversible
Tujuan:
1. Pertukaran
gas pasien kembali normal
2. Tidak
terjadi perubahan fungsi pernapasan.
3. Pasien
bisa bernapas normal tanpa menggunakan otot tambahan pernapasan.
4. Pasien
tidak mengatakan nyeri saat bernapas.
5. PCO2
, PO2, dan SO2 normal
6. Lakukan
latihan pernapasan dalam dan tahan sebentar untuk membiarkan diafragma
mengembangkan secara optimal.
7. Posisikan
pasien dengan posisi semi fowler agar pasien bisa melakukan respirasi dengan
sempurna.
8. Kaji
adanya nyeri dan tanda vital berhubungan dengan latihan yang diberikan.
Kriteria
Hasil : -
|
1. Ajari
pasien tentang teknik penghematan energi.
2. Bantu
pasien untuk mengidentifikasi tugas-tugas yang bisa diselesaikan.
1. Kolaborasi
:
- Berikan
oksigen sesuai indikasi
- Berikan
penekan SSP (anti ansietas sedatif atau narkotik) dengan hati-hati sesuai
indikasi
|
1. Pasien
dapat bernapas dengan lancar.
1. Membantu
ekspansi paru yang optimal.
1. Evaluasi
tingkat kemapuan pasien dan mempermudah perawat dalam merencanakan kriteria
latihan lanjutan.
2. Meningkatkan
keadekuatan jalan napas.
3. Menjaga
komunikasi dengan pasien dan mampu bekerjasama dalam memprioritaskan tugas.
4. Mempercepat
proses pemulihan dengan kerja sam yang baik dengan dokter.
|
2.
|
Pola pernapasan tidak
efektif berhubungan dengan ventilasi
alveoli.
Tujuan:
1. Tidak
terjadi perubahan dalam frekuensi pola pernapasan.
2. Tekanan
nadi (frekuensi, irama, kwalitas) normal.
3. Pasien
memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif dan mengalami perbaikan
pertukaran gas pada paru.
4. Pasien
menyatakan faktor penyebab, jika mengetahui.
5. Pastikan
pasien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
6. Alihkan
perhatian pasien dari pemikiran tentang keadaan ansietas (cemas) dengan
meminta pasien mempertahankan kontak mata dengan perawat.
Kriteria
Hasil: -
|
1. Latih
pasien napas perlahan-lahan, bernapas lebih efektif.
1. Jelaskan
pada pasien bahwa dia dapat mengatasi hiperventilasi melalui kontrol
pernapasan secara sadar.
2. Kolaborasi:
Pemberian obat-obatan sesuai
indikasi dokter (ex. bronkodilator)
|
1. Ventilasi
alveoli normal
1. Tidak
terjadi gangguan perubuhan fungsi pernapasan.
1. Untuk
melatih ketahanan jalan napas. Serta memungkinkan untuk melatih batuk
efektif.
2. Mampu
mengurangi ansietas pasien dalam menghadapi hiperventilasi
3. Usaha
untuk menstabilkan pola napas pasien.
|
3.
|
Bersihan jalan nafas
tidak efektif berhubungan dengan meningkatnya sekret atau produksi mukus.
Tujuan:
Mengatasi masalah
ketidakefektifan jalan napas
Kriteria Hasil:
Sekret encer dan
jalan napas bersih
|
1. Berikan
posisi yang nyaman (fowler/ semi fowler)
1. Anjurkan
untuk minum air hangat
2. Bantu
klien untuk melakukan latihan batuk efektif bila memungkinkan
3. Lakukan
suction bila diperlukan, batasi lamanya suction kurang dari 15 detik dan
lakukan pemberian oksigen 100% sebelum melakukan suction
4. Pasien
lebih nyaman, karena dapat membantu kelancaran pola nafasnya
5. Air
hangat dapat mengencerkan sekret
6. Batuk
efektif akan membantu mengeluarkan sekret.
7. Jalan
nafas bersih.
|
|
4.
|
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen.
Tujuan:
1. Pasien
bernafas dengan efektif.
2. Mengatasi
masalah intoleransi aktivitas pada pasien:
1. Pasien
bisa mengidentifikasikan faktor-faktor yang menurunkan toleransi aktivitas.
2. Pasien
memperlihatkan kemajuan, khususnya dalam hal mobilitas.
Kriteria
Hasil:-
|
1. Ukur
tanda vital saat istirahat dan segera setelah aktivitas serta frekuensi,
irama dan kualitas.
2. Hentikan
aktifitas bila respon klien : nyeri dada, dyspnea, vertigo/konvusi, frekuensi
nadi, pernapasan, tekanan darah sistolik menurun.
3. Meningkatkan
aktifitas secara bertahap.
1. Ajarkan
klien metode penghematan energi untuk aktifitas. ubah posisi setiap 2 sampai
4 jam
2. Mengakaji
periode istirahat
3. Mendapatkan
tanda vital pasien normal, baik saat istirahat ataupun setelah beraktifitas.
4. Masalah
intoleransi aktivitas pada pasien dapat teratasi untuk mengukur
tingkat/kualitas nyeri guna intervensi selanjutnya
|
1. Untuk
melatih ketahanan muskuloskeletal klien, agar tidak terjadi syok.
2. Penghematan
energi seperti bed-rest sangat
membantu meningkatkan keadekuatan pernapasan klien.
3. Mengetahui
kebiasaan klien dalam beristirahat serta membantu menentukan langkah yang
tepat untuk mengoptimalkan periode istirahat klien.
|
3.8 Implementasi
Lakukan tindakan sesuai
dengan intervensi yang akan diberikan.
3.9 Evaluasi
1.
Diagnosa 1 :
a) Pasien
bisa bernapas normal tanpa menggunakan otot tambahan pernapasan
b) Pasien
tidak mengatakan nyeri saat bernapas.
2.
Diagnosa 2:
a) Pasien
memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif dan mengalami perbaikan
pertukaran gas pada paru.
b) Pasien
menyatakan faktor penyebab, jika mengetahui.
3.
Diagnosa 3:
Sekret encer dan jalan
napas bersih
4. Diagnosa 4:
a) Pasien
bisa mengidentifikasikan faktor-faktor yang menurunkan toleran aktivitas.
b) Pasien
memperlihatkan kemajuan khususnya dalam hal mobilitas.
c) Pasien
memperlihatkan turunnya tanda-tanda.
BAB
4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi
makalah diatas adalah sebagai berikut :
1. Emphysema
(emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada
jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya. Gejala utamanya adalah
penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena kantung udara di paru
menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
2. Terdapat
3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang
terjadi dalam paru-paru : PLE (Panlobular
Emphysema/
panacinar), CLE (Sentrilobular Emphysema/ sentroacinar), Emfisema Paraseptal.
3. Asuhan
keperawatan pada penderita emfisema secara garis besar adalah membantu menjaga
keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen klien.
4.2 Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan terhadap
penderita emfisema. Perawat juga harus mampu berperan sebagai pendidik. Dalam
hal ini melakukan penyuluhan mengenai pentingnya hal-hal yang dapat memperberat penyakit,
hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Baughman,D.C&
Hackley,J.C.2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001
Mills,John&
Luce,John M.1993. Gawat Darurat Paru-Paru.Jakarta : EGC
Perhimpunan
Dokter Sepesialis Penyakit Dalam Indonesia. Editor Kepela : Prof.Dr.H.Slamet
Suryono Spd,KE
Soemarto,R.1994.
Pedoman Diagnosis dan Terapi.Surabaya : RSUD Dr.Soetomo
Nurhayati.2010.(online).
http://ksupointer.com/2010/emfisema-bisa-timbulkan-kematian. diakses pada
tanggal 15 November 2010
Zulkarnain,
Nuzulul. (2012). Askep Emfisema. [Internet]. Bersumber dari: http:// artikel_detail-35528-Kep%20Respirasi-Askep%20Emfisema.html.
diakses pada tanggal 13 September 2012 pukul 09:17 WIB
Posting Komentar